Fspmi Cikarang - Sekitar 1400 pekerja outsourcing PT Unilever menyatakan siap mogok jika pihak manajemen perusahaan tidak mengangkat status mereka menjadi karyawan tetap (PKWTT) sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 pasal 66 tentang Ketenagakerjaan. “Kami memastikan produksi akan berhenti jika kami (buruh outsourcing) yang mogok karena kami yang bekerja di bagian-bagian utama perusahaan,” tegas Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Aneka Industri – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPAI-FSPMI) PT Unilever, Siyamto.
PT Unilever mempekerjakan 4000 buruh di enam bidang perusahaan yang berproduksi di tiga pabrik berbeda yang semuanya terletak di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Bidang-bidang PT Unilever memproduksi barang-barang dengan merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat, yakni HPC Powder memproduksi Rinso, Surf, Viso dan Rinso Matic; HPC Liquid memproduksi Sunsilk, Clear, Dove, Lifebuoy, Sunlight, Molto, Superpel, Rinso cair; Walls memproduksi es krim; SCCNC memproduksi Blue Band (mentega); TBB memproduksi Sariwangi dan Royco; dan Skin Care memproduksi kosmetik, seperti Ponds.
Pekerja outsourcing didatangkan dari enam Yayasan yang berbeda, yang di antaranya PT Mamat Anugerah, PT Tobirus Jaya, PT Teguh Jaya, dan PT Sapta Buana.
Diperlakukan Diskriminatif
Buruh outsourcing memperoleh upah bervariasi berdasarkan kategori kerja di bagian produksi dan kerja di bagian non produksi serta di sektor mana buruh tersebut bekerja. Misalnya, seorang buruh yang bekerja di sektor HPC Powder yang masuk golongan kimia (sektor 1) ini memperoleh upah Rp1,8 juta jika buruh tersebut bekerja di line packing, proses dan pergudangan (kategori produksi). Tetapi, jika buruh tersebut bekerja di bagian casual (office boy, catering, dan cleaning service), maka buruh tersebut memperoleh upah standard Upah Minimum Kabupaten (UMK), yakni Rp 1,4, ataupun upah Rp 1,6 juta—tergantung yayasan masing-masing.
Menurut Siyamto, buruh outsourcing mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pihak perusahaan. Pekerja outsourcing hanya memperoleh uang makan sebesar Rp 9.000,-, sementara pekerja tetap mendapatkan uang makan Rp 16.000,-. Perusahaan memberikan tunjangan cuti, tunjangan perumahan Rp 6,4 juta/tahun dan distribusi produk-produk PT Unilever per bulan kepada pekerja atau karyawan berstatus tetap. Di sisi lain, pekerja outsourcing hanya memperoleh paket distribusi setahun sekali, tidak ada tunjangan cuti, apalagi tunjangan perumahan. Ruang makan pun dipisahkan. Pekerja outsourcing makan di tempat yang terpisah dari pekerja berstatus tetap, bahkan seragam kerja juga dibedakan. Padahal fatwa Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan bahwa tidak boleh ada diskriminasi antara karyawan tetap dengan karyawan outsourcing karena tidak berperikemanusiaan dan tidak sesuai dengan UUD 1945.
“Kami, pekerja outsourcing, memang mendapatkan Jamsostek yang diberikan oleh yayasan kami. Misalnya saya, pekerja outsourcing dari PT Mamat Anugerah, dapat tunjangan kesehatan Jamsostek dengan limit hanya Rp 100 ribu untuk ke dokter. Kalau sakitnya sampai menginap di rumah sakit, hanya dapat Rp 1 juta. Kalau biaya berobat lebih dari itu, terpaksa ditanggung sendiri. Dulu, anggota keluarga yang sakit tidak masuk hitungan, baru belakangan ini, setelah Februari, baru dapat setelah diperjuangkan,” kata Siyamto, menjelaskan.
Selain itu, Siyamto tidak yakin jika kebijakan manajemen perusahaan PT Unilever di Jababeka yang mempekerjakan buruh outsourcing atas sepengetahuan pemilik PT Unilever. “Pernah ada auditor yang datang, kami buruh outsourcing malah disuruh ganti seragam, bahkan ada yang disembunyikan,” akunya.
PT Unilever Indonesia merupakan salah satu perusahaan dengan produksi stabil, bahkan cenderung mengalami peningkatan laba. Tahun 2011, penjualan PT Unilever Indonesia mencapai Rp 23,5 triliun dengan laba Rp 5,5 triliun. Secara global, PT Unilever Global memiliki lebih dari 400 brand (merek) yang tersebar di seluruh dunia. PT Unilever merupakan salah satu perusahaan raksasa dunia yang bahkan pendapatannya bisa mengalahkan Gross Domestic Product (GDP) satu negeri, seperti Mozambique. PT Unilever dikendalikan oleh perusahaan dari Belanda yang bermarkas di Rotterdam, Maatschappij Voor International Beleggingen (Mavibel) B.V atas nama Unilever Indonesia Holding B.V.
Dianggap Melanggar Hukum
PUK SPAI-FSPMI PT Unilever telah mengajukan permohonan berunding untuk tanggal 19 September 2012, namun Manajer HRD PT Unilever Jababeka, Irwan Dewanto, meminta agar perundingan diundur sampai tanggal 25 September. Namun ternyata, Irwan menolak hadir, justru yang hadir adalah perwakilan dari enam yayasan outsourcing. Alasan Irwan dalam surat resmi yang dilayangkan kepada buruh, adalah tidak mengakui PUK SPAI-FSPMI PT Unilever. Karena menurutnya, pekerja outsourcing tidak boleh berserikat mengatasnamakan PT Unilever, tetapi harus menggunakan nama yayasan masing-masing. Irwan juga berencana akan menuntut buruh secara hukum.
Pengurus PUK SPAI-FSPMI PT Unilever tidak merasa melanggar hukum, karena keberadaan serikat tersebut telah diakui dan dicatatkan di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi dengan nomor pencatatan 1182/CTT.250/VIII/2012 tertanggal 25 Agustus 2012. Lagipula, di dalam Undang-Undang, tidak diatur bahwa pekerja outsourcing tidak boleh berserikat di perusahaan yang mempekerjakan. Saat ini, jumlah anggota SPAI-FSPMI di PT Unilever Jababeka sudah lebih dari 900 pekerja. Jika pihak pengusaha bersikeras tidak mengizinkan pendirian SPAI-FSPMI di PT Unilever yang sudah diakui oleh Depnaker ini, maka pengusaha melanggar UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Pasal 28 (union busting) dan dapat dikenai pidana penjara 1 sampai 5 tahun dan/atau denda Rp 100 juta – Rp 500 juta (Pasal 43).
Karena tidak ada titik temu, akhirnya buruh mengancam mogok. Menanggapi hal itu, pihak manajemen PT Unilever meminta diskusi dengan pengurus serikat tanggal 05 Oktober nanti.
Menurut Ketua Pimpinan Pusat SPAI-FSPMI, Obon Tabroni, status outsourcing bagi buruh artinya sama dengan tidak ada kepastian kerja. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak membolehkan pekerja/pekerjaan outsourcing di bagian produksi utama perusahaan, hanya boleh di bidang cleaning service, security atau satpam, catering atau kantin, kurir atau pengiriman dan pertambangan. “Meskipun penghasilan pekerja relatif baik, tapi tidak ada kepastian kerja bagi pekerja outsourcing. Tindakan manajemen yang menolak berunding juga itu tidak boleh. Karena buruh memiliki hak untuk berunding dengan pengusaha yang dijamin oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan,” jelas Obon, yang juga adalah Ketua Konsulat Cabang (KC) FSPMI Bekasi ini.
Oleh : Sherr Rinn -
http://spai-fspmi.or.id
0 comments:
Post a Comment